Kamis, 03 Maret 2016

Bisphenol-A


BISPHENOL-A
Aneka produk berbahan plastik sangat mudah kita temukan di pasaran. Sifat plastik yang ringan dan tidak mudah pecah, serta berharga relatif murah, merupakan alasan banyak orang menggunakannya, mulai dari kantong belanja hingga kemasan atau wadah makanan dan minuman. Salah satu jenis plastik yang umum digunakan adalah plastik polikarbonat (polycarbonate/PC). 
Bahan utama pada pembuatan plastik polikarbonat adalah senyawa 2,2-bis (4- hidroksifenil) propan atau yang dikenal dengan nama bisphenol A (BPA). Disamping fungsinya sebagai monomer plastik polikarbonat, BPA juga merupakan bahan pembuatan epoksi resin, yaitu pelapis bagian dalam produk kemasan yang terbuat dari logam, misal kaleng untuk pengemas produk pangan olahan, tutup botol, dan pipa penyalur air. Penggunaan epoksi resin ini bertujuan untuk mencegah terjadinya korosi atau reaksi bahan pengemas dengan pangan yang ada di dalamnya. Zat kimia itu sudah digunakan untuk membuat plastik dan resin epoksifenolat sejak 1957. 
Berdasarkan struktur kimianya, BPA mempunyai dua gugus fenil, dua gugus metil, dan dua gugus hidroksil (alkohol). Dalam bentuk bebas, BPA bersifat sedikit lipofilik (dapat larut dalam lemak). Namun melalui proses metabolisme di dalam hati, BPA diubah menjadi senyawa yang agak lebih hidrofilik (dapat larut dalam air).


 Gambar 2. Struktur kimia Bisphenol A

 Dalam bentuk aktifnya, senyawa BPA memiliki aktivitas hormon estrogen sehingga jika masuk ke dalam tubuh dapat memimik (meniru) hormon estrogen. Oleh karena itu para peneliti memberikan perhatian yang cukup besar terhadap BPA dan kemungkinan efeknya terhadap manusia. Selain itu, BPA juga merupakan salah satu senyawa endocrine disruptors yang dapat mengganggu biosintesis, sekresi, kerja, atau metabolisme alami suatu hormon. BPA dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai rute paparan, namun yang utama adalah tertelan melalui pangan. BPA bermigrasi ke dalam pangan melalui epoksi resin yang melapisi kaleng atau melalui kemasan pangan yang terbuat dari polikarbonat. Pangan yang disimpan dalam kemasan atau dipanaskan dalam wadah yang mengandung BPA dapat tercemar BPA yang bermigrasi dari kemasan ke dalam pangan pada saat dipanaskan. Nilai asupan harian yang dapat ditoleransi (tolerable daily intake) untuk BPA yang ditetapkan oleh European Commission adalah 0,05 mg/kg berat badan/hari. Namun, umumnya kadar paparan BPA lebih rendah daripada nilai TDI tersebut. Selain melalui rute tertelan, BPA dapat pula masuk ke dalam tubuh melalui kontak kulit, misalnya pada pekerja industri yang terlibat langsung pada pembuatan produk yang mengandung BPA serta pada individu yang menggunakan mesin penghitung 3 uang. BPA juga terkandung dalam kadar rendah di udara dan debu di dalam ruangan, serta pada dental sealants, namun tingkat paparannya terhadap manusia relatif lebih kecil daripada paparan melalui pangan.
Sebuah laporan 2010 dari Amerika Serikat Food and Drug Administration (FDA) memperingatkan kemungkinan bahaya terhadap janin, bayi dan anak-anak. Pada September 2010, Kanada menjadi negara pertama di dunia yang mengklasifikasikan BPA sebagai zat beracun. Dan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat juga sudah melarang peredaran botol susu dan peralatan makan anak-anak yang diduga mengandung BPA.
Larangan itu dilatari kekhawatiran akan dampak kesehatan yang mungkin ditimbulkan oleh BPA, seperti obesitas, gangguan otak dan fungsi tiroid, kanker, bahkan penyakit jantung dan penurunan produksi sperma maupun kekebalan tubuh, serta pubertas dini. Beberapa penelitian menunjukkan, ikatan BPA yang tergolong tidak stabil dapat menyebabkan sejumlah kecil zat kimia itu terlepas ke dalam makanan atau susu formula yang menjadi isi suatu kemasan yang mengandung BPA, dan tertelan oleh manusia.
Pelepasan BPA akan terjadi semakin banyak saat botol susu bayi atau botol air terkena panas, seperti saat direbus atau disterilisasi. Para ilmuwan menyebutkan, BPA dapat menjadi senyawa "pengganggu hormon" karena berpotensi mengganggu fungsi normal dari sistem hormon, yang menimbulkan efek merugikan pada kesehatan, reproduksi, perkembangan, serta masalah tingkah laku. 



Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar